BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang
berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan
perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga memerlukan
organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang
memimpin keluarga disamping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga
terdiri dari Ayah, ibu, dan anak merupakan sebuah satu kesatuan yang memiliki
hubungan yang sangat baik. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian
dalam hubungan timbal balik antar semua anggota/ individu dalam keluarga.
Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa
bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan
kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental, emosi dan sosial) seluruh anggota
keluarga. Keluarga disebut disharmonis apabila terjadi sebaliknya.
Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun
orang tua dengan anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah
tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam
rumah tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah
mengalaminya. Yang mejadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan
menyelesaikan hal tersebut.
Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya
masing-masing. Apabila masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap
anggota keluarga akan mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan
mengerti perasaan, kepribadian dan pengendalian emosi tiap anggota keluarga
sehingga terwujudlah kebahagiaan dalam keluarga. Penyelesaian konflik secara
sehat terjadi bila masing-masing anggota keluarga tidak mengedepankan
kepentingan pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat solusi yang sama- sama
menguntungkan anggota keluarga melalui komunikasi yang baik dan lancar. Disisi
lain, apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin
sering terjadi dalam keluarga.
Penyelesaian masalah dilakukan dengan marah yang
berlebih-lebihan, hentakan-hentakan fisik sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan
dan makian maupun ekspresi wajah menyeramkan. Terkadang muncul perilaku seperti
menyerang, memaksa, mengancam atau melakukan kekerasan fisik. Perilaku seperti
ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang
diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
1.2
RUMUSAN MASALAH
1.2.1
Apa
pengertian kekerasan dalam rumah tangga?
1.2.2
Bagaimana
situasi kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia?
1.2.3
Bagaimana
bentuk kekerasan dalam rumah tangga?
1.2.4
Apa
penyebab kekerasan dalam rumah tangga?
1.2.5
Bagaimana
solusi dari kekerasan dalam rumah tangga?
1.3
TUJUAN
1.3.1
Untuk
mengetahui pengertian dari kekerasan dalam rumah tangga
1.3.2
Untuk
mengetahui situasi kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia
1.3.3
Untuk
mengetahui bentuk dari kekerasan dalam rumah tangga
1.3.4
Untuk
mengetahui penyebab dari kekerasan dalam rumah tangga
1.3.5
Untuk
mengetahui solusi dari kekerasan dalam rumah tangga
1.4
MANFAAT
1.4.1
Teoritis
Hasil
makalah ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dalam lingkungan
kesehatan reproduksi, sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam memberikan
pelayanan kesehatan reproduksi khususnya yang berhubungan dengan kekerasan
dalam rumah tangga.
1.4.2
Praktis
1.4.2.1
Bagi
STIKES Tri Mandiri Sakti Bengkulu
Sebagai
bahan pustaka informasi tentang kesehatan reproduksi khususnya masalah
kekerasan dalam rumah tangga.
1.4.2.2
Bagi
Masyarakat
Sebagai
bahan evaluasi dan menambah ilmu pengetahuan bagi untuk masyarakat khususnya
bagi suami istri, agar saling memahami satu sama lain, sehingga tidak terjadi
kekerasan dalam rumah tangga.
1.4.2.3
Bagi
Penulis
Penulis
dapat menerapkan ilmu yang telah didapat, sehingga dapat memecahkan masalah
kesehatan reproduksi khususnya masalah kekerasan dalam rumah tangga pada
komunitas kebidanan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
PENGERTIAN
Kekerasan Dalam Bahasa Inggris, yang lebih lazim dipakai
oleh orang Indonesia disebut “Violence”.
Istilah violence berasal dari dua
kata bahasa latin: vis yang berarti
daya atau kekuatan dan latus (bentuk
perfektum dari kata kerja ferre yang
berarti (telah) membawa. Maka, secara harfiah violence berarti membawa
kekuatan, daya dan paksaan.
Kekerasan menurut Johan Galtung (seorang sosiolog Norwegia
(1930), Windhu, 92: 11) menyebutkan bahwa kekerasan adalah suatu perlakuan atau
situasi yang menyebabkan realitas aktual seseorang ada di bawah realitas
potensialnya. Artinya ada sebuah situasi dimana menyebabkan segi kemampuannya
atau potensi individu tersebut menjadi tidak muncul. Dengan demikian, kekerasan
pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku baik verbal maupun non verbal yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain, sehingga
menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional dan psikologis terhadap orang
yang menjadi sasarannya.
Menurut pasal 89 KUHP, melakukan kekerasan adalah
mempergunakan tenaga dan kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah
misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menepak,
menendang dan sebagainya.
Kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004
adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga
2.2
SITUASI DI INDONESIA
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia terus
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan itu disebabkan oleh berbagai
faktor. Berdasarkan data Komnas Perempuan, pada tahun 2012, sedikitnya ada
8.315 kasus dalam setahun. Jumlah itu mengalami peningkatan di tahun 2013 yang
mencapai 11.719 kasus atau naik 3.404 kasus dari tahun sebelumnya. Dan
pada tahun 2014, terdapat 293.220 kasus
kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 68 persen dari kasus tersebut adalah
kekerasan rumah tangga (KDRT) dengan mayoritas korban ibu rumah tangga. Meningkatnya kasus itu disebabkan
karena banyak faktor. Salah satunya dari dalam keluarga itu sendiri, seperti
masalah-masalah pribadi, dan antara anggota keluarga. Faktor lainnya adalah,
masih adanya rasa memiliki sepenuhnya yang tertanam pada jiwa kaum laki-laki.
Rasa memiliki sepenuhnya itu memicu kaum laki-laki untuk meminta istrinya
melakukan hal yang sesuai dengan kemauan mereka. Sehingga, jika permitaan itu
tidak dilaksanakan oleh sang istri, pihak laki-laki akan langsung melakukan
KDRT. Menurutnya, dari ribuan hingga belasan ribu kasus yang muncul setiap
tahun, kasus KDRT paling banyak dilakukan oleh kaum laki-laki.
2.3
BENTUK- BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA
a) Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam
golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut
(menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata,
dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka
lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
b) Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada
seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara
emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau
merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau
,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
c) Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan)
istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa
selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
d) Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Misalnya tidak member nafkah, memaksa
pasangan untuk prostitusi, mengetatkan istri dalam keuangan rumah tangga.
e) Penelantaran rumah tangga
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan
orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran
juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan
cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar
rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
2.4
PENYEBAB KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA
1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak
seimbang antara suami dan istri.
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah
terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur
masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala
yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa
berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.
2. Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami
memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa
menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadnya ia tetap enggan
untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup
dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk
bertindak sewenang-wenang kepada istrinya.
3. Kekerasan sebagai alat untuk
menyelesaiakan konflik.
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus
kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai
pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya
keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat
memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh
anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar
ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan
kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah tangganya.
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya
karena merasa frusta, tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi
tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang :
a) Belum siap kawin.
b) Suami belum memiliki pekerjaan dan
penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga.
c) Masih serba terbatas dalam kebebasan
karena masih menumpang pada orang tua atau mertua.
d) Cemburu pada pasangan
e) Pasangan mempunyai selingkuhan
f) Kehamilan tidak diinginkan/
infertilitas
g) Istri ingin melanjutkan studi/ ingin
bekerja
h) Pengaruh kebiasaan minum alcohol, drugs abused
2.5
MASALAH/ DAMPAK FISIK, PSIKOLOGI DAN
SEKSUAL
Penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami oleh
istri saja tetapi juga anak-anaknya. Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga
yang menimpa istri adalah:
1. Kekerasan fisik langsung atau tidak
langsung dapat mengakibatkan istri menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka
sebagai akibat tindakan kekerasan tersebut.
2. Kekerasan psikologis dapat berdampak
istri merasa tertekan, shock, trauma, rasa takut, marah, emosi tinggi dan
meledak-ledak, kuper, serta depresi yang mendalam.
3. Kekerasan seksual dapat
mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks, karena istri menjadi
ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan berhubungan seks.
4. Kekerasan ekonomi mengakibatkan
terbatasinya pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang diperlukan istri dan
anak-anaknya.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kekerasan
tersebut juga dapat berdampak pada anak-anak. Adapun dampak-dampak itu dapat
berupa efek yang secara langsung dirasakan oleh anak, sehubungan dengan
kekerasan yang ia lihat terjadi pada ibunya, maupun secara tidak langsung.
Bahkan, sebagian dari anak yang hidup di tengah keluarga seperti ini juga
diperlakukan secara keras dan kasar karena kehadiran anak terkadang bukan
meredam sikap suami tetapi malah sebaliknya. Kekerasan dalam rumah tangga yang
dialami anak-anak membuat anak tersebut memiliki kecenderungan seperti gugup,
gampang cemas ketika menghadapi masalah, sering ngompol, gelisah dan tidak
tenang, jelek prestasinya di sekolah, mudah terserang penyait seperti sakit
kepala, perut, dan asma, kejam kepada binatang, Ketika bermaian sering meniru
bahasa yang kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat, dan suka
melakukan pemukulan terhadap orang lain yang tidak ia sukai.
Kekerasan dalam rumah tangga yang ia lihat adalah sebagai
pelajaran dan proses sosialisasi bagi dia sehingga tumbuh pemahaman dalam
dirinya bahwa kekerasan dan penganiayaan adalah hal yang wajar dalam sebuah
kehidupan berkeluarga. Pemahan seperti ini mengakibatkan anak berpendirian
bahwa:
1. Satu-satunya jalan menghadapi stres
dari berbagai masalah adalah dengan melakukan kekerasan.
2. Tidak perlu menghormati perempuan.
3. Menggunakan kekerasan dalam
menyelesaiakan berbagai persoalan adalah baik dan wajar.
4. Menggunakan paksaan fisik untuk
mendapatkan sesuatu yang diinginkan adalah wajar dan baik-baik saja
Di samping dampak secara langsung terhadap fisik dan
psikologis sebagaimana disebutkan di atas, masih ada lagi akibat lain berupa
hubungan negatif dengan lingkungan yang harus ditanggung anak seperti:
1. Harus pindah rumah dan sekolah jika
ibunya harus pindah rumah karena menghindari kekerasan.
2. Tidak bisa berteman atau
mempertahankan teman karena sikap ayah yang membuat anak terkucil.
3. Merasa disia-siakan oleh orang tua.
2.1
SOLUSI
1. Kebijakan
Undang- Undang
a) Menurut Hukum Pidana
Pada dasarnya, proses penetapan bahwa perbuatan seseorang
dapat dipidanakan adalah karena perbuatan itu tidak dikehendaki atau tidak
disukai oleh masyarakat. Salah satu ukurannya adalah bahwa perbuatan tersebut
dapat merugikan atau mendatangkan korban. Oleh karena itu, dalam hukum pidana
dikenal sebuah asas yang fundamental berkaitan dengan pemidanaan yaitu “tiada
pidana tanpa kesalahan” atau dengan kata lain, terjadinya kesalahan mensahkan
diterapkannya pidana.
Dalam kaitannya dengan kekerasan fisik terhadap istri dalam
rumah tangga adalah bahwa kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami termasuk
dalam perbuatan yang tidak dikehendaki dan tidak disukai oleh masyarakat,
terlebih lagi perbuatan itu dapat merugikan istri dan anaknya yang menjadi
korban tindakannya. Permasalahannya adalah bahwa sebagaimana diketahui,
kekerasan fisik terjadi lebih karena faktor emosi yang sudah tidak terkendali
setelah didahului oleh terjadinya pertengkaran antara suami dan istri, sehingga
agak diragukan apakah suami sengaja melakukan kekerasan fisik tersebut atau
tidak sengaja (alpa).
Dari penelusuran berbagai pasal dalam KUHP, diperoleh data
bahwa ancaman pidana dapat dikenakan kepada pelaku, baik tindak pidana tersebut
dilakukan dengan sengaja ataupun karena kealpaan. Perbedaan ancaman pidana
antara kesengajaan dan kealpaan hanya terdapat pada berat ringannya pidana yang
diancamkan. Untuk lebih jelasnya, penulis kutibkan pasal dalam KUHP yang memuat
tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja atau alpa dengan berat atau
ringannya ancaman pidananya.
Sebagaimana tersebut dalam pasal 354 KUHP tentang
penganiayaan, disebutkan: “Barang siapa sengaja melukai berat orang lain
diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama
delapan tahun”. Sedangkan dalam pasal 360 KUHP disebutkan: “Barang siapa karena
kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
Kealpaan baru mungkin tidak dapat dipidanakan hanya jika
terjadi dalam perbuatan peserta yang melakukan bantuan/ikut serta berbuat
karena kealpaannya dalam perbuatan penyertaan (culpose deelneming) sebagaimana keterangan dalam pasal 56 KUHP yang
berbunyi: “Dipidana sebagai pembantu sesuatu kejahatan: mereka yang sengaja
memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, dan mereka yang sengaja
memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dengan demikian kekerasan fisik terhadap istri yang
dilakukan oleh suami meskipun dilakukan dengan kealpaan tetap dapat
dipidanakan. Ditambah lagi, kekerasan fisik terhadap istri ini bukanlah delik
penyertaan di mana suami berperan sebagai pembantu atau penyerta perbuatan yang
dilakukan dengan kealpaan.
Selanjutnya, pasal 351 s.d. 355 KUHP menerangkan bahwa
penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Jika perbuatan
mengakibatkan luka berat, yang berbuat dapat diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun. Dan pada pasal 356 menyebutkan bahwa pidana yang
ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga
bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istri,
dan anaknya. Walaupun demikian banyak masyarakat menganggap bahwa persoalan
rumah tangga adalah aib untuk diceritakan kepada orang lain. Hal ini
mengakibatkan pasal-pasal yang menjerat tindak kekerasan dalam rumah tangga itu
sulit untuk diterapkan.
Jika disimak lebih lanjut mengenai pasal-pasal di atas
terlihat bahwa negara hanya mengatur tindak penganiayaan sebagai kejahatan yang
sifatnya umum. Negara belum mengakomodir kekerasan yang dialami istri dalam
keluarga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa KUHP tidak mengenal konsep
kekerasan yang berbasis jender di mana sesungguhnya ada tindakan kejahatan yang
dilakukan justru karena jenis kelamin.
b) Menurut UU No. 23 Tahun 2004
UU No. 23 Tahun 2004 ini terdiri dari sepuluh bab dan lima
puluh enam pasal. Secara garis besar diuraikan sebagai berikut:
Bab I berisi ketentuan umum yang menerangkan tentang
definisi kekerasan dalam rumah tangga dan penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga sebagaimana tercantum dalam pasal 1, serta menerangkan tentang lingkup
rumah tangga yang meliputi suami, istri, dan anak (pasal 2).
Bab II berisi asas dan tujuan. Bahwa asas yang mendasari
dilaksanakannya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagaimana
tersebut dalam pasal 3 yaitu meliputi:
·
Penghormatan
hak asasi manusia
·
Keadilan
dan kesetaraan jender
·
Anti
diskriminasi, dan
·
Perlindungan
korban
Adapun tujuannya adalah sebagaimana
terdapat dalam pasal 4 yaitu:
·
Mencegah
segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
·
Melindungi
korban kekerasan dalam rumah tangga
·
Menindak
pelaku kekerasan dalam rumah tangga
·
Memelihara
keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera
Bab III
berisi larangan kekerasan dalam rumah tangga, bahwa setiap orang dilarang
melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lain dalam lingkup rumah
tangganya, baik dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual, dan
menerlantarkan rumah tangganya, sebagaimana tercantum dalam pasal 5.
Bab IV
berisi hak-hak korban sebagaimana tercantum dalam pasal 10 yang meliputi:
·
Perlindungan
dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga
sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan.
·
Pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
·
Penanganan
secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.
·
Pendampingan
oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan. Pelayanan bimbingan
rohani.
Bab V berisi
kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga, (pasal 11). Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, maka ada beberapa
hal yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagaimana tercantum dalam pasal 12
yang meliputi:
·
Merumuskan
kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
·
Menyelenggarakan
komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga
·
Menyelenggarakan
sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga
·
Menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga
serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender.
Adapun
yang dimaksud dengan kewajiban masyarakat adalah sebagaimana tercantum dalam
pasal 15, yaitu bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, wajib melakukan upaya-upaya sesuai
dengan batas kemampuannya untuk:
·
Mencegah
berlangsungnya tindak pidana
·
Memberikan
perlindungan kepada korban
·
Memberikan
pertolongan darurat, dan
·
Membantu
proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan kepada lembaga terkait
Bab VI
berisi perlindungan yang harus diberikan oleh kepolisian sebagaimana tercantum
dalam pasal 16 sampai 20, perlindungan dan pelayanan kesehatan yang terdapat
dalam pasal 21, dan perlindungan dari pekerja sosial dan relawan pendamping
sebagaimana tercantum dalam pasal 22 dan 23, perlindungan oleh rohaniwan
sebagaimana terdapat dalam pasal 24, dan perlindungan oleh advokat sebagaimana
terdapat dalam pasal 25.
Bab VII
berisi upaya pemulihan korban, bahwa untuk kepentingan pemulihan, korban dapat
memperoleh pelayanan dari:
·
Tenaga
kesehatan yang wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya (pasal
40)
·
Pekerja
sosial dan relawan pendamping, dan rohaniwan yang wajib memberikan konseling
untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban (pasal 41)
Bab VIII
berisi ketentuan pidana yang tercantum dalam pasal 44 sampai 53. Khusus untuk
kekerasan fisik, penulis uraikan rinciannya sebagai berikut:
·
Kekerasan
fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,-
·
Jika
kekerasan fisik tersebut mengakibatkan sakit dan luka berat, maka pelakunya
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak
Rp. 30.000.000,-
·
Jika
kekerasan tersebut mengakibatkan matinya korban, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,-
·
Jika
kekerasan tersebut tidak mengakibatkan penyakit atau halangan apa pun untuk menjalankan
pekerjaan dan kegiatan lainnya, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,-
Bab IX
berisi Ketentuan lain-lain yang menerangkan tentang penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pembuktian (pasal 54 dan 55). UU di tutup
dengan bab X tentang ketentuan penutup (pasal 56).
2.
Program (Pelayanan yang dilakukan)
a) Pelayanan kesehatan
Pelayanan
kesehatan dilakukan oleh tenaga kesehatan di sarana kesehatan milik pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat, termasuk swasta dengan cara memberikan
pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan korban.
b) Pendampingan korban
Pendampingan
korban dilakukan oleh tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping,
dan/atau pembimbing rohani dengan cara memberikan konseling, terapi, bimbingan
rohani dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban.
c) Konseling
Pemberian konseling
dilakukan oleh pekerja sosial, relawan pendamping, dengan mendengarkan secara
empati dan menggali permasalahan untuk penguatan psikologis korban.
d) Bimbingan rohani
Bimbingan rohani
dilakukan oleh pembimbing rohani dengan cara memberikan penjelasan mengenai hak
dan kewajibannya, serta penguatan iman dan takwa sesuai dengan agama dan
kepercayaan yang dianutnya.
e) Resosialisasi.
Resosialisasi
korban dilaksanakan oleh instansi sosial dan lembaga sosial agar korban dapat
kembali melaksanakan fungsi sosialnya dalam masyarakat
3.
Fasilitas (pelayanan yang
dibutuhkan)
a) ruang pelayanan khusus di jajaran
kepolisian
b) tenaga yang ahli dan professional
c) pusat pelayanan dan rumah aman; dan
d) sarana dan prasarana lain yang
diperlukan untuk pemulihan korban.
4.
Solusi yang diberikan oleh Bidan
a) Merekomendasikan tempat perlindungan
seperti crisis center, shelter, dan one stop crisis center.
b) Memberikan pendampingan psikologis dan
pelayanan pengobatan fisik korban.
Bidan berperan dengan fokus meningkatkan harga diri korban, memfasilitasi
ekspresi perasaan korban, dan meningkatkan lingkungan sosial yang memungkinkan.
Bidan berperan penting dalam upaya membantu korban kekerasan diantaranya
melalui upaya pencegahan primer terdiri dari konseling keluarga, modifikasi
lingkungan sosial budaya dan pembinaan spiritual, upaya pencegahan sekunder
berupa asuhan-asuhan, pencegahan tertier melalui pelatihan/pendidikan,
pembentukan dan proses kelompok serta pelayanan rehabilitasi.
c) Memberikan pendampingan hukum dalam
acara peradilan
d) Melatih kader-kader (LSM) untuk
mampu menjadi pendampingan korban kekerasan.
e) Mengadakan pelatihan mengenai
perlindungan pada korban tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagai bekal
untuk mendampingi korban
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) merupakan permasalahan
yang sering terjadi didalam rumah tangga. Oleh karena itu harus dilakukan
pencegahan secara dini. Pendidikan agama dan pengamalan ajaran agama di
rumah tangga merupakan kunci sukses untuk mencegah terjadinya KDRT.
Untuk mencegah KDRT di rumah tangga, harus dikembangkan
cinta kasih dan kasih sayang Sejak dini. Ibu bisa berperan besar dalam hal
mengajarkan kepada anak-anak dirumah untuk saling mencintai dan saling
menyayangi. Demikian juga PKK sebagai organisasi dapat memberi terus-menerus
pencerahan dan penyadaran kepada kaum perempuan.
Oleh karena pelaku utama KDRT pada umumnya adalah suami,
maka peranan para pemuka agama, pendidik, sosiolog dan cendekiawan, harus
berada digarda terdepan untuk terus menyuarakan pentingnya rumah tangga
sebagai unit terkecil dalam masyarakat untuk dibangun secara baik dan
jauh dari KDRT. Supaya terkomunikasikan hal tersebut kepada masyarakat
luas, maka peranan dan partisipasi media sangat penting dan menentukan.
Amalkan sebuah pepatah “Rumahku Istanaku”. Betapapun
keadaannya sebuah rumah, maka rumah harus menjadi tempat yang memberi
kehangatan, ketenangan, kedamaian, perlindungan, dan kebahagian kepada seluruh
anggota keluarga.
3.2
SARAN
3.2.1
Bagi
STIKES Tri Mandiri Sakti Bengkulu
Makalah
ini diharapkan dapat menambah pustaka atau informasi ilmiah tentang kesehatan
reproduksi khususnya masalah kekerasan dalam rumah tangga, sehingga dapat
memperkaya wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa STIKES Tri Mandiri Sakti
Bengkulu.
3.2.2
Bagi
Masyarakat
Makalah
ini diharapkan Sebagai bahan evaluasi dan menambah ilmu pengetahuan bagi untuk
masyarakat khususnya bagi suami istri, agar saling memahami satu sama lain,
sehingga tidak terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Republik
Indonesia. 2004. Undang-undang No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta:
Sekretariat Negara.
Republik
indonesia. 2006. Peraturan pemerintah
republik Indonesia nomor 4 tahun 2006 tentang penyelenggaraan dan kerja sama
pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga, Jakarta: Sekretariat Negara.
Widyastuti,
Yani (2009). Kesehatan Reproduksi.
Yogyakarta: Fitramaya
Lubis, Lilah. (2010). Kekerasan Dalam Rumah Tangga.[Online].Tersedia: http://lilah-lubis.blogspot.co.id/2010/12/kekerasan-dalam-rumah-tangga.html
(17 Oktober 2015).
Nuhatama, Didib. (2011). Makalah Kekerasan Dalam
Rumah Tangga. [Online]. Tersedia: http://d2bnuhatama.blogspot.co.id/2011/08/makalah-pancasila-kekerasan-dalam-rumah.html
(17 Oktober 2015).
Hidayah, Aep. (2015). Makalah Tugas Kekerasan Dalam
Rumah Tangga. [Online].Tersedia:https://aepnurulhidayat.wordpress.com/2015/04/06/makalah-tugas-kekerasan-dalam-rumah-tangga-aep-nurul
hidayah_rkm126201/ (17 Oktober
2015).
Sartini, Wiwik. (2009). Pelayanan “rekso dyah utami” terhadap
korban Kekerasan dalam rumah tangga. [Online]. Tersedia: http://digilib.uinsuka.ac.id/3869/1/BAB%20I,I,%20DAFTAR%20PUSTAKA.
pdf (17 Oktober 2015).
Artikeknya bermanfaat
BalasHapuskrtpermadisatriowiwoho.logdown.com
luaaaar biasa makasih ya gans keren ulasanya lengkap, kujungi balik ya
BalasHapuscara kredit usaha
kumpulan tugas makalah
model belajar