BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak dan perempuan memang merupakan golongan
yang sangat rentan untuk menjadi korban kekerasan, terutama anak-anak.
Macam-macam kasus kekerasan terhadap anak terjadi pada lingkungan sekitar kita,
baik itu kekerasan fisik, psikologis, ataupun kekerasan seksual. Segala bentuk
perlakuan salah pada anak tidak dibenarkan, karena meskipun anak berbuat salah,
anak tidak mengetahui bahwa perbuatannya salah,
dan orang tua yang memiliki kewajiban untuk memberi tahu anaknya. Bentuk-bentuk
perlakuan salah antara lain :
a. Perlakuan salah secara fisik
b. Perlakuan salah secara seksual
c. Perlakuan salah secara emosional
d. Tindakan menelantarkan anak
Kasus-kasus
perlakuan salah pada anak semakin sering terjadi di lingkungan sekitar kita.
Salah satu bentuk perlakuan salah pada anak yang perlu diberikan perhatian
lebih adalah
perlakuan salah seksual. Terdapat berbagai macam istilah bagi perlakuan salah
seksual pada anak, istilah yang sering digunakan adalah kekerasan seksual dan
pelecehan seksual.
Menurut
Seto Mulyadi, psikolog dan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, kasus
pelecehan seksual sangat menghancurkan hidup anak, baginya kekerasan seksual
pada anak sepuluh kali lebih kejam daripada
terhadap
orang dewasa. Karena posisi anak-anak masih rentan, lemah, mudah dirayu dan
dibodoh-bodohi. Selain itu juga karena kekerasan dan pelecehan seksual
merupakan gabungan antara kekerasan fisik dan psikologis.
Maraknya
pemberitaan mengenai kasus kekerasan seksual pada anak-anak adalah sebuah kisah
horor bagi para orangtua. Dan yang paling sulit kita terima, kekerasan seksual
pada anak kebanyakan justru dilakukan oleh orang-orang terdekat, yang otomatis
sudah dikenal dan dipercaya, termasuk juga oleh guru agama.
Anak-anak
mempunyai hak untuk dilindungi, tumbuh dan berkembang secara aman. Kekerasan
seksual pada anak tak hanya menimbulkan luka fisik, tapi juga luka psikologis
karena trauma. Luka psikologis inilah yang paling berat. Oleh karena itu,
maka kekerasan seksual pada anak harus mendapat perhatian khusus dari pihak
yang berwenang terutama tindakan preventif jangan sampai anak-anak menjadi
korban kekerasan seksual.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini ialah
1. Apakah yang dimaksud
dengan kekerasan seksual pada anak?
2. Bagaimanakah situasi
kekerasan seksual pada anak di Indonesia?
3. Apa saja bentuk
kekerasan seksual pada anak?
4. Apakah yang menjadi
penyebab kekerasan seksual pada anak?
5. Apakah dampak fisik,
dampak psikologis dan dampak seksual karena kekerasan seksual pada anak ?
6. Bagaimanakah solusi
menurut undang-undang, program dan fasilitas untuk mengatasi kekerasan seksual
pada anak?
C.
Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mempelajari kekerasan
seksual pada anak dari segi kesehatan reproduksi.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui
pengertian kekerasan seksual pada anak.
b. Untuk mengetahui situasi
kekerasan seksual pada anak di Indonesia.
c. Untuk mengetahui bentuk
kekerasan seksual pada anak.
d. Untuk mengetahui penyebab
kekerasan seksual pada anak.
e. Untuk mengetahui dampak
fisik, dampak psikologis dan dampak seksual karena kekerasan seksual pada anak.
f. Untuk mengetahui solusi
menurut undang-undang, program dan fasilitas untuk mengatasi kekerasan seksual
pada anak.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kekerasan seksual pada anak
adalah pemaksaan, ancaman atau keterperdayaan seorang anak dalam aktivitas
seksual. Aktivitas seksual tersebut meliputi melihat, meraba, penetrasi
(tekanan), pencabulan dan pemerkosaan.
Kekerasan Seksual pada Anak (child sexual abuse), jika
terjadi aktivitas atau kontak seksual yang melibatkan anak/remaja dengan orang dewasa atau dengan
anak/remaja lain yang tubuhnya lebih besar, lebih kuat, atau yang kemampuan
berpikirnya lebih baik, atau yang anak/remaja lain yang usianya lebih tua (>
3 tahun).
Jadi
sekali lagi, pelaku bisa saja orang yang sudah dewasa dan cukup umur, atau bisa
saja seorang anak/remaja. Selain persentuhan antar bagian tubuh, kontak seksual juga mencakup kegiatan yang tidak
bersentuhan, misalnya percakapan atau pertukaran gambar yang berbau seks. Kedua jenis kontak seksual ini bisa mengganggu kondisi fisik dan kondisi psikis (mental) anak.
Kekerasan seksual pada anak juga
dapat diartikan sebagai suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau
remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk
meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), memberikan paparan yang tidak
senonoh dari alat kelamin
untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual
terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam konteks
non-seksual tertentu seperti pemeriksaan medis), melihat alat kelamin anak
tanpa kontak fisik (kecuali dalam konteks non-seksual seperti pemeriksaan
medis), atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.
B. Situasi kekerasan seksual pada anak di Indonesia
Kekerasan seksual terhadap anak sudah terjadi
bertahun-tahun dan bentuk-bentuk kekerasan yang dialami anak-anak di Indonesia
sangat beragam dan menakutkan. Data yang dikumpulkan dan dianalisis Pusat Data
dan Informasi (PUSDATIN) Komnas Anak, terdapat 21.689.797 kasus pelanggaran Hak
Anak.
Sebanyak 42-58% dari pelanggaran hak anak
tersebut merupakan kejahatan seksual, selebihnya adalah kasus kekerasan fisik,
penelantaran dan perebutan anak, eksploitasi ekonomi, perdagangan anak (child
trafficking) untuk tujuan eksploitasi seksual komersial. Data ini bersumber
dari laporan masyarakat melalui pelayanan pengaduan langsung (hotline service),
pemberitaan media massa serta pengelolaan data dan informasi yang dikumpulkan
oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 34 provinsi dan 179 Kabupaten Kota.
Sedangkan
di tahun 2014 saja, pelayanan pengaduan Komnas Anak sudah menerima laporan 679
kasus, dengan jumlah korban 896 orang anak. Sebanyak 52% adalah kejahatan
seksual. Laporan KPAI yang bertajuk
“Kekerasan
Seksual dan Pornografi pada Anak” menyoroti tentang berbagai fakta kekerasan
seksual pada anak dan pornografi yang terjadi di Indonesia.
Laporan
ini juga menyoroti upaya-upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak termasuk KPAI
dalam mengatasi masalah ini termasuk kebijakan dan produk legislasi yang telah
dibuat. Selanjutnya laporan ini memaparkan berbagai gaps dan tantangan yang
dihadapi serta rekomendasi untuk menanggulangi masalah ini.
Terhadap
laporan ini ada beberapa aspek yang perlu dikritisi dan dipertajam. Pertama
mengenai pilihan isu. Isu kekerasan seksual pada anak memang menjadi sebuah
masalah yang beberapa tahun terakhir ini meningkat baik jumlah maupun skalanya.
Negara dianggap gagal dalam melindungi anak-anak sehingga kekerasan ini terus
menerus berlangsung. Isu kekerasan seksual anak seharusnya diikuti juga dengan
praktek eksploitasi seksual anak, karena dalam dokumen insternasional lebih
merelease penggunaan praktek eksploitasi seksual anak dan penyalahgunaan
seksual pada anak ketika anak-anak menjadi korban kekerasan seksual.
Eksploitasi
seksual anak pun merupakan pelanggaran berat terhadap hak-hak anak berupa
penggunaan kekerasan dan anak dijadikan objek seksual dan objek komoditas
secara terus menerus yang meliputi praktek-praktek pelacuran anak, pornografi
anak, perdagangan seks anak dan pariwisata seks anak. Lalu berdasarkan Opsional
Protokol tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan Pornografi Anak telah juga
didefiniskan tentang ketiga bentuk eksploitasi seksual anak tersebut.
C.
Bentuk Kekerasan Seksual pada Anak
Selain
persentuhan antar bagian tubuh, kontak seksual juga mencakup kegiatan yang
tidak bersentuhan, misalnya percakapan atau pertukaran gambar yang berbau seks.
Kedua jenis kontak ini bisa mengganggu kondisi fisik dan kondisi psikis
(mental) anak. Definisi anak menurut UU No. 23 tahun 2002 adalah seseorang yang belum
berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Bentuk-bentuk pelecehan/kekerasan seksual
pada anak, yaitu :
1. Pelecehan seksual yang berupa sentuhan
a.
Pelaku memegang-megang, meraba atau mengelus organ vital anak seperti
alat kelamin (vagina, penis), bagian pantat, dada/payudara.
b.
Pelaku memasukkan bagian tubuhnya atau benda lain ke mulut, anus, atau
vagina anak.
c.
Pelaku memaksa anak untuk memegang bagian tubuhnya sendiri, bagian tubuh
pelaku, atau bagian tubuh anak lain.
2.
Pelecehan seksual yang tidak berupa sentuhan
a.
Pelaku mempertunjukkan bagian tubuhnya (termasuk alat kelamin) pada
anak/remaja secara cabul, tidak pantas, atau tidak senonoh
b.
Pelaku mengambil gambar (memfoto) atau merekam anak/remaja dalam
aktivitas yang tidak senonoh, dalam adegan seksual yang jelas nyata, maupun
adegan secara tersamar memancing pemikiran seksual. Contohnya pelaku merekam
anak yang sedang membuka bajunya.
c.
Kepada anak pelaku memperdengarkan atau memperlihatkan visualisasi
(gambar, foto, video, dan semacamnya) yang mengandung muatan seks dan
pronografi. Misalnya, pelaku mengajak anak menonton film dewasa (film porno)
d.
Pelaku tidak mengahargai privasi anak/remaja, misalnya tidak menyingkir
dan justru menonton ketika ada seorang anak mandi atau berganti pakaian
e.
Pelaku melakukan percakapan bermuatan seksual dengan anak/remaja, baik
eksplisit (bahasa lugas) maupun implisit (tersamar). Percakapan ini bisa
dilakukan dengan melalui telepon, chatting, internet, surat, maupun sms.
D.
Penyebab Kekerasan
Seksual pada Anak
Ada banyak faktor kenapa terjadi
kekerasan seksual pada anak :
1. Lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak dalam
menonton tv, bermain dll. Hal ini bukan berarti orang tua menjadi
diktator/over protective, namun
maraknya kriminalitas di negeri ini membuat perlunya meningkatkan kewaspadaan
terhadap lingkungan sekitar.
2. Anak mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku,
autisme, terlalu lugu.
3. Kemiskinan keluarga (banyak anak).
4. Keluarga pecah (broken home)
akibat perceraian, ketiadaan Ibu dalam jangka panjang.
5. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidak
mampuan mendidik anak, anak yang tidak diinginkan (Unwanted Child) atau anak lahir diluar nikah.
6. Pengulangan sejarah kekerasan orang tua yang dulu
sering memperlakukan anak-anaknya dengan pola yang sama
7. Kondisi lingkungan yang buruk, keterbelakangan.
8. Kesibukan orang tua sehingga anak menjadi sendirian
bisa menjadi pemicu kekerasan terhadap anak
9. Kurangnya pendidikan orang tua terhadap
anak.
E.
Dampak Kekerasan
Seksual pada Anak
1.
Dampak Fisik
Kecacatan yang dapat mengganggu fungsi tubuh anggota tubuh. Masalah fisik yang
ditimbulkan antara lain : lembam, lecet, luka bakar, patah tulang, kerusakan
organ, robekan selaput dara, keracunan, gangguan susunan saraf pusat.
Tergantung
pada umur dan ukuran anak, dan tingkat kekuatan yang digunakan, pelecehan
seksual anak dapat menyebabkan luka internal dan pendarahan. Pada kasus yang parah, kerusakan
organ internal dapat terjadi dan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan
kematian. Penyebab kematian termasuk trauma pada alat kelamin atau dubur dan
mutilasi seksual.
2. Dampak Psikologis
Pelecehan
seksual anak dapat mengakibatkan kerugian baik jangka pendek dan jangka
panjang, termasuk psikopatologi di kemudian hari. Dampak psikologis, emosional, fisik dan
sosialnya meliputi depresi, gangguan stres pasca trauma, kegelisahan, gangguan
makan, rasa
rendah diri yang buruk, gangguan identitas pribadi dan kegelisahan.
Gangguan
psikologis yang umum seperti somatisasi, sakit
saraf, sakit
kronis, perubahan perilaku seksual, masalah sekolah/belajar dan masalah perilaku termasuk penyalahgunaan
obat terlarang, perilaku menyakiti diri sendiri, kekejaman terhadap hewan, kriminalitas ketika dewasa dan bunuh
diri.
Orang dewasa
yang mempunyai sejarah pelecehan seksual pada masa kanak-kanak, umumnya menjadi
pelanggan layanan darurat dan layanan medis dibanding mereka yang tidak
mempunyai sejarah gelap masa lalu. Sebuah studi yang membandingkan perempuan yang
mengalami pelecehan seksual masa kanak-kanak dibanding yang tidak, menghasilkan
fakta bahwa mereka memerlukan biaya perawatan kesehatan yang lebih tinggi
dibanding yang tidak.
Anak yang
dilecehkan secara seksual menderita gerjala psikologis lebih besar dibanding
anak-anak normal lainnya, sebuah studi telah menemukan gejala tersebut 51
sampai 79% pada anak-anak yang mengalami pelecehan seksual. Resiko bahaya akan lebih besar jika
pelaku adalah keluarga atau kerabat dekat, juga jika pelecehan sampai ke
hubungan seksual atau paksaan pemerkosaan, atau jika melibatkan kekerasan
fisik.
Tingkat bahaya
juga dipengaruhi berbagai faktor seperti masuknya alat kelamin, banyaknya dan
lama pelecehan, dan penggunaan kekerasan. Pengaruh yang merugikan akan kecil
dampaknya pada anak-anak yang mengalami pelecehan seksual namun memiliki
lingkungan keluarga yang mendukung atau mendampingi paska pelecehan.
3.
Dampak Seksual
Kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi menular
seksual termasuk HIV/AIDS, gangguan /kerusakan organ reproduksi.
F.
Solusi
1.
Kebijakan
(berdasarkan Undang-Undang)
Upaya perlindungan anak korban kekerasan baru
mulai mendapat perhatian penguasa, secara lebih komprehensif, sejak
ditetapkannya UU Perlindungan Anak, meski perlindungan itu masih memerlukan
instrumen hukum lainnya guna mengoperasionalkan perlidungan tersebut.
Perlindungan hukum yang
dapat diberikan terhadap anak yang menjadi korban tindak kekerasan/pelecehan
seksual dapat diberikan melalui :
1. Pelecehan seksual dapat dijerat dengan pasal
percabulan (Pasal 289 s.d. Pasal
296 KUHP)
2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”), sebagai lex specialis (hukum yang lebih khusus) dari KUHP.
3. UU No. 35 Tahun 2014 tentang tentang perubahan atas undang-undang nomor 23
tahun 2002 tentang perlindungan anak.
4. Pasal 82 UU Perlindungan Anak :
“Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”
2.
Program
dalam Menangani Kekerasan Seksual pada Anak
Para praktisi hukum maupun pemerintah setiap
negara selalu melakukan berbagai usaha untuk menanggulangi kejahatan dalam arti
mencegah sebelum terjadi dan menindak pelaku kejahatan yang telah melakukan
perbuatan atau pelanggaran atau melawan hukum. Berikut adalah beberapa program
pemrintah yang bertujuan untuk menangani kekerasan seksual pada anak :
1.
Meningkatkan kualitas materi pendidikan agama dan budi pekerti di satuan
pendidikan, memasukkan ke dalam kurikulum tentang hak dan kewajiban anak,
kesehatan reproduksi, dan pemberdayaan anak, melindungi anak di satuan
pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik
dan tenaga kependidikan serta pihak lain dalam lingkungan sekolah.
2.
Melalui dinas
kesehatan dilakukan
sosialisasi kepada tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan tentang kewajiban
untuk memberikan informasi kepada kepolisian dan/atau pemangku kepentingan
terkait atas adanya dugaan kejahatan seksual terhadap anak.
3.
Tenaga kesehatan untuk melakukan komunikasi, informasi, dan
edukasi kepada anak, masyarakat dan pemangku kepentingan tentang kesehatan
reproduksi, dampak kejahatan seksual terhadap tumbuh kembang anak, pemberdayaan
anak, dan melakukan upaya pencegahan.
4.
Melalui kementerian Komunikasi dan Informasi, adanya upaya pencegahan dan penanganan pornografi melalui
pemblokiran situs-situs porno dan situs-situs kekerasan terhadap anak dan
perempuan, meningkatkan koordinasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI),
asosiasi media cetak dan media elektronika, serta asosiasi dan penyelenggara
jasa internet dalam rangka pencegahan dan pemberantasan kejahatan sesual
terhadap anak.
5.
Melalui kementerian Hukum dan HAM, adanya penyusunan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan perlindungan anak; melakukan pencegahan dan penangkalan imigrasi
terhadap pelaku yang diduga melakukan kejahatan seksual terhadap anak sesuai
dengan permintaan Polri dan Jaksa Agung.
Jaksa Agung berwenang mempercepat proses penanganan dan penyelesaian perkara yang berhubungan
dengan kejahatan seksual terhadap anak, melakukan tuntutan pidana seberat
mungkin terhadap pelaku tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak, dan
melakukan pengawasan terhadap putusan pidana bersyarat, pidana pengawasan, dan
keputusan lepas bersyarat terhadap pelaku tindak pidana kejahatan seksual
terhadap anak.
6.
Adanya upaya dari pihak kepolisian RI dalam hal penanganan dan penyelesaian proses penyidikan
dan berkas perkara hukum bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, melakukan
penegakan hukum yang optimal kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak di
tingkat penyidikan, dan meningkatkan kegiatan kepolisian yang bersifat
pre-emptif yaitu bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat, khususnya di
satuan pendidikan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan keahatan seksual
terhadap anak, bekerja sama dengan instansi terkait.
7.
Negara berusaha
meningkatkan kapasitas para penegak hukum ini agar lebih terlatih menangani
kasus-kasus kekerasan seksual, mereka juga perlu memiliki sensitvitas terhadap
korban sehingga lebih sungguh-sungguh bekerja, adanya fasilitas yang handal
sehingga dapat dengan mudah mengenali kejahatan ini, disamping penambahan unit cyber crime dibeberapa kota yang dinilai kadar
kejahatan seksualnya tinggi.
8.
Menjamin tersedianya
pusat-pusat rehabilitasi terhadap korban kekerasan seksual anak di setiap kota
di Indonesia yang pengelolaannya dapat dilakukan bersama-sama dengan
komponen-komponen terpilih di masyarakat yang memiiki kepeduliaan terhadap
pengasuhan, pemulihan masa depan anak. Pusat-pusat rehabilitasi ini harus
dikelola secara profesional dengan anggaran yang mencukupi sehingga negara
memberikan jaminan pemulihan yang seimbang. Pusat-pusat rehabilitasi ini perlu
diintegrasikan dengan peran penyidik dan peran-peran Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK).
9.
Sektor swasta
merupakan salah satu mitra kunci dalam memerangi kekerasan seksual ini,
sehingga negara tidak membiarkan mereka menjadi “penonton” dan “pendengar”
terhadap berbagai praktek kekerasan seksual anak. Mereka perlu didorong dalam
memberikan tanggapan, meningkatkan kesadaran mereka dalam berpartisipasi
mencegah, menanggulangi masalah kekerasan seksual anak.
Ada kode etik atau hukum yang perlu diterapkan kepada
mereka agar tidak memfasilitasi terjadinya kekerasan seksual pada anak.
Industri telekomunikasi, penyedia layanan internet, industri pariwisata
termasuk sektor swasta yang sering bersentuhan dengan praktek-praktek kekerasan
seksual pada anak.
Mereka harus memiliki aturan untuk menolak menjadi
“tuan rumah” bagi kekerasan seksual (online) pada anak,
mereka juga didorong untuk melaporkan kasus-kasus kekerasan seksual pada anak
yang mereka ketahui, mereka juga harus memiliki software atau hardware yang dapat mengenali kekerasan seksual online pada anak dan melaporkannya, mereka juga
didorong untuk memiliki program corporate social responsibility dalam
memulihkan korban di daerah wisata.
10.
Kementrian Komunikasi
dan Informasi memiliki peran strategis dalam mencegah terjadinya kekerasan
seksual online. Peran ini sudah mereka lakukan, namun penapisan
terhadap konten seksual online ternyata
hanya sebatas pada konten-konten yang mereka berhasil pantau.
Kebijakan menyeluruh dalam melindungi anak-anak dari
ancaman kekerasan seksual online belum
sepenuhnya berhasil dirumuskan mekskipun kementerian ini faham betul apa yang
harus dilakukan. Karena itu, kementerian ini perlu dimotivasi agar
sungguh-sungguh menjalankan mandat sebagai institusi negara untuk mencegah
kekerasan seksual online pada anak.
3.
Fasilitas
dalam Menangani Kekerasan Seksual pada Anak
Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan
atau menanggulangi kejahatan kekerasan seksual pada anak :
1)
Sarana Penal (hukum pidana)
Penanggulangan secara penal yaitu
penanggulangan setelah terjadinya kejahatan atau menjelang terjadinya
kejahatan, dengan tujuan agar kejahatan itu tidak terulang kembali.
Penanggulangan secara penal dalam suatu kebijakan kriminal merupakan
penanggulangan kejahatan dengan memberikan sanksi pidana bagi para pelakunya
sehingga menjadi contoh agar orang lain tidak melakukan kejahatan.
Dengan diberikannya sanksi hukum pada pelaku,
maka memberikan perlindungan secara tidak langsung kepada korban perkosaan anak
di bawah umur ataupun perlindungan terhadap calon korban. Ini berarti
memberikan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya atau dengan kata lain para
pelaku diminta pertanggungjawabannya.
Penanggulangan kejahatan perkosaan terhadap
anak di bawah umur melalui upaya penal dilakukan secara represif.
Penanggulangan kejahatan yang bersifat represif, maksudnya adalah upaya
penanggulangan kejahatan dengan memberikan tekanan terhadap pelaku kejahatan,
dengan tujuan agar kejahatan itu tidak terjadi lagi. Penanggulangan kejahatan
yang bersifat represif ditujukan pada pelaku kejahatan tersebut, yang dimulai
dengan usaha penangkapan, pengusutan di peradilan, dan penghukuman.
2)
Upaya Non Penal
Penanggulangan secara non penal maksudnya
adalah penanggulangan dengan tidak menggunakan sanksi hukum, yang berarti bahwa
penanggulangan ini adalah penanggulangan kejahatan yang lebih bersifat
preventif.
Usaha-usaha non penal bisa berupa penyantunan
dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga
masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral,
agama, dan sebagainya, peningkatan usaha dan kesejahteraan anak remaja,
kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinyu oleh polisi dan aparat
keamanan lainnya dan sebagainya. Usaha-usaha non penal ini dapat meliputi :
a)
Upaya Preventif
Penanggulangan kekerasan seksual terhadap
anak di bawah umur dapat dilakukan dengan cara yang bersifat preventif
maksudnya adalah upaya penanggulangan yang lebih dititikberatkan pada
pencegahan kejahatan yang bertujuan agar kejahatan itu tidak sampai terjadi.
Kejahatan dapat dikurangi dengan melenyapkan faktor-faktor penyebab kejahatan
itu sebab bagaimanapun kejahatan tidak akan pernah habis.
Dalam usaha pencegahan kriminalitas, kata
pencegahan dapat berarti antara lai mengadakan usaha perubahan yang positif,
dalam hal perkosaan khususnya perkosaan terhadap anak dibawah umur, seperti
memberikan perlindungan terhadap anak karena anak merupakan orang yang paling
mudah dibujuk dan selain itu anak belum dapat memberontak seperti yang
dilakukan oleh orang-orang dewasa.
Penanggulangan secara non penal kejahatan
perkosaan terhadap anak di bawah umur adalah dengan meningkatkan kesadaran
hukum bagi anggota keluarga untuk lebih memahami kepentingan anak di masa depan.
b)
Upaya Reformatif.
Upaya reformatif adalah segala cara
pembaharuan atau perbaikan kepada semua orang yang telah melakukan perbuatan
jahat yang melanggar undang-undang. Upaya ini bertujuan untuk mengurangi jumlah
residivis atau kejahatan ulangan. Upaya ini dapat dilakukan dengan berbagai
cara yang kesemuanya adalah menuju kepada kesembuhan, sehingga si pelaku
kejahatan dapat menjadi manusia yang baik kembali. Upaya reformatif ini
dilakukan setelah adanya upaya-upaya yang lain serta upaya ini bertujuan
mengembalikan atau memperbaiki jiwa si penjahat kembali, yang mana untuk
kejahatan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur dapat dilakukan dengan metode
reformatif dinamik (dalam hal ini metode klasik dan metode moralisasi) serta
metode profesional service. Melalui metode reformatif dinamik, metode yang
memperlihatkan cara bagaimana mengubah penjahat dari kelakuannya yang tidak
baik, terdapat metode klasik dengan jalan memberikan hukuman yang berat.
Ada 3 pokok yang menjadi solusi dalam penanganan
kekerasan seksual pada anak :
1. Pencegahan.
Aktivitas pencegahan ini dapat dilakukan secara bersama dalam bentuk
sosialisasi hak-hak anak dan sejumlah peraturan ditengah-tengah kehidupan
masyarakat dan keluarga.
2. Deteksi Dini
Bagi anak-anak yang rentan terhadap terjadinya kekerasan serta dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat perlu dilakukan langkah cepat (quick response) untuk mengevakuasi sementara anak ke
tempat yang aman, serta memberikan peringatan dini kepada lingkungan keluarga
yang rentan melakukan kekerasan. Artinnya, bagi anak-anak yang rentan terhadap
kekerasan sedini mungkin bisa dihindari.
3. Intervensi Krisis.
Bagi anak-anak yang telah mengalami kekerasan, langkah yang perlu
dilakukan melalui pendekatan Intervensi Krisis. Aktivitas ini dilakukan dengan
metoda mendampingi korban dan keluarga korban untuk melakukan upaya hukum, dan
melakukan terapi terhadap trauma yang diakibatkan oleh tindak kekerasan.
Peran Bidan dalam Mencegah dan
Menangani Kekerasan Seksual pada Anak.
Sebagai tenaga kesehatan, seorang bidan harus mampu menangani
jika ditemukannya kasus kekerasan seksual pada anak, melalui langkah-langkah
berikut diharapkan agar bidan dapat menjadi tempat utama dalam perlindungan
korban kekerasan seksual pada anak, berikut merupakan langkah yang diperlukan
bidan :
1.
Melakukan pendekatan
Pendekatan
awal untuk mengobati seseorang yang telah menjadi korban pelecehan seksual
tergantung pada beberapa faktor penting, yaitu :
a.
Umur pada saat pemberian arahan
b.
Keadaan pada saat pemberian arahan dan saat perawatan
c.
Kondisi tidak wajar
Tujuan pengobatan tidak hanya untuk mengobati
masalah – masalah kesehatan mental yang ada pada saat ini, tetapi juga mencegah
hal yang sama pada masa yang akan datang
2.
Membantu anak melindungi diri
Menjelaskan
pada anak bahwa tidak ada seorangpun yang boleh menyentuh nya dengan tidak
wajar. Berikan pemahaman dan ajarkan anak untuk menolak segala perbuatan yang
tidak senonoh dengan segera meninggalkan dimana sentuhan tersebut terjadi.
Ingatkan anak untuk tidak gampang mempercayai orang asing dan buat anak untuk
selalu mencerikan jika terjadi sesuatu dengan diri nya
3.
Melakukan penyuluhan terhadap anak tengtang Pelecehan seksual terhadap
anak
4.
Laporkan Pada pihak yang berwajib
Bila
terjadi kekerasan fisik, psikis atau pun seksual ada baik nya segera laporkan
pada pihak yang berwajib. Hal ini bertujuan agar segera diambil tindakan lebih
lanjut terhadap tersangka dan dapat mengurangi kejahatan yang sama terjadi.
Sementara untuk korban nya harus segera mendapatkan bantuan ahli medis serta
dukungan dari keluarganya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kekerasan seksual pada anak
adalah pemaksaan, ancaman atau keterperdayaan seorang anak dalam aktivitas
seksual. Aktivitas seksual tersebut meliputi melihat, meraba, penetrasi
(tekanan), pencabulan dan pemerkosaan.
Salah
satu praktek kekerasan seksual anak terhadap anak di bawah umur yang dinilai
menyimpang adalah bentuk kekerasan seksual. Jelas praktek tersebut
bertentangan dengan nilai-nilai agama serta melanggar hukum yang berlaku dan
membuat masyarakat termotivasi untuk membasmi praktek seks yang kini telah
banyak dilakukan di kota-kota maupun di desa.
Upaya perlindungan anak korban kekerasan seksual mendapat perhatian penguasa, secara lebih
komprehensif, sejak ditetapkannya UU Perlindungan Anak, meski perlindungan itu
masih memerlukan instrumen hukum lainnya guna mengoperasionalkan perlidungan
tersebut.
Sebagai tenaga kesehatan, seorang bidan harus
mampu menangani jika ditemukannya kasus kekerasan seksual pada anak, melalui
langkah-langkah berikut diharapkan agar bidan dapat menjadi tempat utama dalam
perlindungan korban kekerasan seksual pada anak
B.
Saran
Dari berbagai informasi yang telah kita
dapatkan bahwa pelecehan seksual sangat
berbahaya
karena akan menimbulkan efek yang sangat
berbahaya mulai dari beban mental yang
diderita oleh korban,penyakit yang akan diderita oleh pelaku dan juga oleh
korban dan lain sebagainya. Maka dari itu
diharapkan kepada orang tua agar dapat menjaga anak mereka agar terhindar dari
kekerasan seksual yang memberikan efek negative yang berkepanjangan bagi masa
depan anak.
Pemerintah diharapkan dapat menjalankan
kebijakan yang telah dirumuskan baik untuk tindakan pencegahan maupun tindakan
perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindakan kekerasan seksual
pada anak.
Daftar Pustaka
Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2002. Pelecehan Seksual dan
Kekerasan
Seksual. Jakarta : BKKBN.
Hadisuprapto,
Paulus. 2006. Masalah
Perlindungan Hukum Bagi Anak. Jakarta : PT.Gramedia
Indonesia.
Huraerah, Abu. 2006. Kekerasan
Terhadap Anak. Jakarta : Penerbit Nuansa
Komisi Perlindungan Anak Indonesia. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jakarta : KPAI. Diakses pada tanggal 18 Oktober 2015, dari http://www.kpai.go.id/hukum/undang-undang-republik-indonesia-nomor-35-tahun-2014-tentang-perubahan-atas-undang-undang-nomor-23-tahun-2002-tentang-perlindungan-anak/
Komnas Perlindungan Anak. 2006.
Pemerkosa Pelajar ditangkap: Terapi Psikologis Amat diperlukan, www.kompas.com
diakses 18 Oktober 2015.
Kumalasari, Intan dan Iwan
Andhyantoro. 2012. Jakarta : Salemba Medika.
Romauli, Suryati. 2009. Kesehatan Reproduksi untuk Mahasisiwi Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika.
Widyastuti, Yani. 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta : Fitramaya.
Artikel yang menarik dan berguna.
BalasHapusBuruan Gabung Sekarang Juga dan Dapatkan Bonus Hingga Jutaan Rupiah disetiap Harinya Hanya di raja poker
Bagus makalahnya, ijin share ya
BalasHapus