Jumat, November 27

kekerasan seksual pada anak



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Anak dan perempuan memang merupakan golongan yang sangat rentan untuk menjadi korban kekerasan, terutama anak-anak. Macam-macam kasus kekerasan terhadap anak terjadi pada lingkungan sekitar kita, baik itu kekerasan fisik, psikologis, ataupun kekerasan seksual. Segala bentuk perlakuan salah pada anak tidak dibenarkan, karena meskipun anak berbuat salah, anak tidak mengetahui bahwa perbuatannya salah, dan orang tua yang memiliki kewajiban untuk memberi tahu anaknya. Bentuk-bentuk perlakuan salah antara lain :
a.    Perlakuan salah secara fisik
b.    Perlakuan salah secara seksual
c.    Perlakuan salah secara emosional
d.   Tindakan menelantarkan anak
Kasus-kasus perlakuan salah pada anak semakin sering terjadi di lingkungan sekitar kita. Salah satu bentuk perlakuan salah pada anak yang perlu diberikan perhatian lebih adalah perlakuan salah seksual. Terdapat berbagai macam istilah bagi perlakuan salah seksual pada anak, istilah yang sering digunakan adalah kekerasan seksual dan pelecehan seksual.
Menurut Seto Mulyadi, psikolog dan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, kasus pelecehan seksual sangat menghancurkan hidup anak, baginya kekerasan seksual pada anak sepuluh kali lebih kejam daripada

terhadap orang dewasa. Karena posisi anak-anak masih rentan, lemah, mudah dirayu dan dibodoh-bodohi. Selain itu juga karena kekerasan dan pelecehan seksual merupakan gabungan antara kekerasan fisik dan psikologis.
Maraknya pemberitaan mengenai kasus kekerasan seksual pada anak-anak adalah sebuah kisah horor bagi para orangtua. Dan yang paling sulit kita terima, kekerasan seksual pada anak kebanyakan justru dilakukan oleh orang-orang terdekat, yang otomatis sudah dikenal dan dipercaya, termasuk juga oleh guru agama.
Anak-anak mempunyai hak untuk dilindungi, tumbuh dan berkembang secara aman. Kekerasan seksual pada anak tak hanya menimbulkan luka fisik, tapi juga luka psikologis karena trauma. Luka psikologis inilah yang paling berat. Oleh karena itu, maka kekerasan seksual pada anak harus mendapat perhatian khusus dari pihak yang berwenang terutama tindakan preventif jangan sampai anak-anak menjadi korban kekerasan seksual.

B.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini ialah
1.      Apakah yang dimaksud dengan kekerasan seksual pada anak?
2.      Bagaimanakah situasi kekerasan seksual pada anak di Indonesia?
3.      Apa saja bentuk kekerasan seksual pada anak?
4.      Apakah yang menjadi penyebab kekerasan seksual pada anak?
5.      Apakah dampak fisik, dampak psikologis dan dampak seksual karena kekerasan seksual pada anak ?

6.      Bagaimanakah solusi menurut undang-undang, program dan fasilitas untuk mengatasi kekerasan seksual pada anak?

C.      Tujuan
1.    Tujuan Umum
Untuk mempelajari kekerasan seksual pada anak dari segi kesehatan reproduksi.
2.    Tujuan Khusus
a.    Untuk mengetahui pengertian kekerasan seksual pada anak.
b.    Untuk mengetahui situasi kekerasan seksual pada anak di Indonesia.
c.    Untuk mengetahui bentuk kekerasan seksual pada anak.
d.   Untuk mengetahui penyebab kekerasan seksual pada anak.
e.    Untuk mengetahui dampak fisik, dampak psikologis dan dampak seksual karena kekerasan seksual pada anak.
f.     Untuk mengetahui solusi menurut undang-undang, program dan fasilitas untuk mengatasi kekerasan seksual pada anak.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian
Kekerasan seksual pada anak adalah pemaksaan, ancaman atau keterperdayaan seorang anak dalam aktivitas seksual. Aktivitas seksual tersebut meliputi melihat, meraba, penetrasi (tekanan), pencabulan dan pemerkosaan.
Kekerasan Seksual pada Anak (child sexual abuse), jika terjadi aktivitas atau kontak seksual yang melibatkan anak/remaja dengan orang dewasa atau dengan anak/remaja lain yang tubuhnya lebih besar, lebih kuat, atau yang kemampuan berpikirnya lebih baik, atau yang anak/remaja lain yang usianya lebih tua (> 3 tahun).
 Jadi sekali lagi, pelaku bisa saja orang yang sudah dewasa dan cukup umur, atau bisa saja seorang anak/remaja. Selain persentuhan antar bagian tubuh, kontak seksual juga mencakup kegiatan yang tidak bersentuhan, misalnya percakapan atau pertukaran gambar yang berbau seks. Kedua jenis kontak seksual ini bisa mengganggu kondisi fisik dan kondisi psikis (mental) anak.
Kekerasan seksual pada anak juga dapat diartikan sebagai suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), memberikan paparan yang tidak

senonoh dari alat kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam konteks non-seksual tertentu seperti pemeriksaan medis), melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik (kecuali dalam konteks non-seksual seperti pemeriksaan medis), atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.

B.       Situasi kekerasan seksual pada anak di Indonesia
Kekerasan seksual terhadap anak sudah terjadi bertahun-tahun dan bentuk-bentuk kekerasan yang dialami anak-anak di Indonesia sangat beragam dan menakutkan. Data yang dikumpulkan dan dianalisis Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) Komnas Anak, terdapat 21.689.797 kasus pelanggaran Hak Anak.
Sebanyak 42-58% dari pelanggaran hak anak tersebut merupakan kejahatan seksual, selebihnya adalah kasus kekerasan fisik, penelantaran dan perebutan anak, eksploitasi ekonomi, perdagangan anak (child trafficking) untuk tujuan eksploitasi seksual komersial. Data ini bersumber dari laporan masyarakat melalui pelayanan pengaduan langsung (hotline service), pemberitaan media massa serta pengelolaan data dan informasi yang dikumpulkan oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 34 provinsi dan 179 Kabupaten Kota.
Sedangkan di tahun 2014 saja, pelayanan pengaduan Komnas Anak sudah menerima laporan 679 kasus, dengan jumlah korban 896 orang anak. Sebanyak 52% adalah kejahatan seksual. Laporan KPAI yang bertajuk

“Kekerasan Seksual dan Pornografi pada Anak” menyoroti tentang berbagai fakta kekerasan seksual pada anak dan pornografi yang terjadi di Indonesia.
Laporan ini juga menyoroti upaya-upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak termasuk KPAI dalam mengatasi masalah ini termasuk kebijakan dan produk legislasi yang telah dibuat. Selanjutnya laporan ini memaparkan berbagai gaps dan tantangan yang dihadapi serta rekomendasi untuk menanggulangi masalah ini.
Terhadap laporan ini ada beberapa aspek yang perlu dikritisi dan dipertajam. Pertama mengenai pilihan isu. Isu kekerasan seksual pada anak memang menjadi sebuah masalah yang beberapa tahun terakhir ini meningkat baik jumlah maupun skalanya. Negara dianggap gagal dalam melindungi anak-anak sehingga kekerasan ini terus menerus berlangsung. Isu kekerasan seksual anak seharusnya diikuti juga dengan praktek eksploitasi seksual anak, karena dalam dokumen insternasional lebih merelease penggunaan praktek eksploitasi seksual anak dan penyalahgunaan seksual pada anak ketika anak-anak menjadi korban kekerasan seksual.
Eksploitasi seksual anak pun merupakan pelanggaran berat terhadap hak-hak anak berupa penggunaan kekerasan dan anak dijadikan objek seksual dan objek komoditas secara terus menerus yang meliputi praktek-praktek pelacuran anak, pornografi anak, perdagangan seks anak dan pariwisata seks anak. Lalu berdasarkan Opsional Protokol tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan Pornografi Anak telah juga didefiniskan tentang ketiga bentuk eksploitasi seksual anak tersebut.
C.      Bentuk Kekerasan Seksual pada Anak
Selain persentuhan antar bagian tubuh, kontak seksual juga mencakup kegiatan yang tidak bersentuhan, misalnya percakapan atau pertukaran gambar yang berbau seks. Kedua jenis kontak ini bisa mengganggu kondisi fisik dan kondisi psikis (mental) anak. Definisi anak menurut UU No. 23 tahun 2002 adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Bentuk-bentuk pelecehan/kekerasan seksual pada anak, yaitu :
1.    Pelecehan seksual yang berupa sentuhan
a.    Pelaku memegang-megang, meraba atau mengelus organ vital anak seperti alat kelamin (vagina, penis), bagian pantat, dada/payudara.
b.    Pelaku memasukkan bagian tubuhnya atau benda lain ke mulut, anus, atau vagina anak.
c.    Pelaku memaksa anak untuk memegang bagian tubuhnya sendiri, bagian tubuh pelaku, atau bagian tubuh anak lain.
2.    Pelecehan seksual yang tidak berupa sentuhan
a.    Pelaku mempertunjukkan bagian tubuhnya (termasuk alat kelamin) pada anak/remaja secara cabul, tidak pantas, atau tidak senonoh
b.    Pelaku mengambil gambar (memfoto) atau merekam anak/remaja dalam aktivitas yang tidak senonoh, dalam adegan seksual yang jelas nyata, maupun adegan secara tersamar memancing pemikiran seksual. Contohnya pelaku merekam anak yang sedang membuka bajunya.
c.    Kepada anak pelaku memperdengarkan atau memperlihatkan visualisasi (gambar, foto, video, dan semacamnya) yang mengandung muatan seks dan pronografi. Misalnya, pelaku mengajak anak menonton film dewasa (film porno)
d.   Pelaku tidak mengahargai privasi anak/remaja, misalnya tidak menyingkir dan justru menonton ketika ada seorang anak mandi atau berganti pakaian
e.    Pelaku melakukan percakapan bermuatan seksual dengan anak/remaja, baik eksplisit (bahasa lugas) maupun implisit (tersamar). Percakapan ini bisa dilakukan dengan melalui telepon, chatting, internet, surat, maupun sms.

D.      Penyebab Kekerasan Seksual pada Anak
Ada banyak faktor kenapa terjadi kekerasan seksual pada anak :
1.    Lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak dalam menonton tv, bermain dll. Hal ini bukan berarti orang tua menjadi diktator/over protective, namun maraknya kriminalitas di negeri ini membuat perlunya meningkatkan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar.
2.    Anak mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu.
3.    Kemiskinan keluarga (banyak anak).
4.    Keluarga pecah (broken home) akibat perceraian, ketiadaan Ibu dalam jangka panjang.
5.    Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidak mampuan mendidik anak, anak yang tidak diinginkan (Unwanted Child) atau anak lahir diluar nikah.
6.    Pengulangan sejarah kekerasan orang tua yang dulu sering memperlakukan anak-anaknya dengan pola yang sama
7.    Kondisi lingkungan yang buruk, keterbelakangan.
8.    Kesibukan orang tua sehingga anak menjadi sendirian bisa menjadi pemicu kekerasan terhadap anak
9.    Kurangnya pendidikan orang tua terhadap anak.

E.       Dampak Kekerasan Seksual pada Anak
1.      Dampak Fisik
Kecacatan yang dapat mengganggu fungsi tubuh anggota tubuh. Masalah fisik yang ditimbulkan antara lain  : lembam, lecet, luka bakar, patah tulang, kerusakan organ, robekan selaput dara, keracunan, gangguan susunan saraf pusat.
Tergantung pada umur dan ukuran anak, dan tingkat kekuatan yang digunakan, pelecehan seksual anak dapat menyebabkan luka internal dan pendarahan. Pada kasus yang parah, kerusakan organ internal dapat terjadi dan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kematian. Penyebab kematian termasuk trauma pada alat kelamin atau dubur dan mutilasi seksual.
2.      Dampak Psikologis
Pelecehan seksual anak dapat mengakibatkan kerugian baik jangka pendek dan jangka panjang, termasuk psikopatologi di kemudian hari. Dampak psikologis, emosional, fisik dan sosialnya meliputi depresi, gangguan stres pasca trauma, kegelisahan, gangguan makan, rasa rendah diri yang buruk, gangguan identitas pribadi dan kegelisahan.
Gangguan psikologis yang umum seperti somatisasi, sakit saraf, sakit kronis, perubahan perilaku seksual, masalah sekolah/belajar dan masalah perilaku termasuk penyalahgunaan obat terlarang, perilaku menyakiti diri sendiri, kekejaman terhadap hewan, kriminalitas ketika dewasa dan bunuh diri.  
Orang dewasa yang mempunyai sejarah pelecehan seksual pada masa kanak-kanak, umumnya menjadi pelanggan layanan darurat dan layanan medis dibanding mereka yang tidak mempunyai sejarah gelap masa lalu. Sebuah studi yang membandingkan perempuan yang mengalami pelecehan seksual masa kanak-kanak dibanding yang tidak, menghasilkan fakta bahwa mereka memerlukan biaya perawatan kesehatan yang lebih tinggi dibanding yang tidak.
Anak yang dilecehkan secara seksual menderita gerjala psikologis lebih besar dibanding anak-anak normal lainnya, sebuah studi telah menemukan gejala tersebut 51 sampai 79% pada anak-anak yang mengalami pelecehan seksual. Resiko bahaya akan lebih besar jika pelaku adalah keluarga atau kerabat dekat, juga jika pelecehan sampai ke hubungan seksual atau paksaan pemerkosaan, atau jika melibatkan kekerasan fisik.
Tingkat bahaya juga dipengaruhi berbagai faktor seperti masuknya alat kelamin, banyaknya dan lama pelecehan, dan penggunaan kekerasan. Pengaruh yang merugikan akan kecil dampaknya pada anak-anak yang mengalami pelecehan seksual namun memiliki lingkungan keluarga yang mendukung atau mendampingi paska pelecehan.
3.        Dampak Seksual
Kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS, gangguan /kerusakan organ reproduksi. 

F.       Solusi
1.    Kebijakan (berdasarkan Undang-Undang)
Upaya perlindungan anak korban kekerasan baru mulai mendapat perhatian penguasa, secara lebih komprehensif, sejak ditetapkannya UU Perlindungan Anak, meski perlindungan itu masih memerlukan instrumen hukum lainnya guna mengoperasionalkan perlidungan tersebut.
Perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap anak yang menjadi korban tindak kekerasan/pelecehan seksual dapat diberikan melalui :
1.    Pelecehan seksual dapat dijerat dengan pasal percabulan (Pasal 289 s.d. Pasal 296 KUHP)
2.    Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”), sebagai lex specialis (hukum yang lebih khusus) dari KUHP.
3.    UU No. 35 Tahun 2014 tentang tentang perubahan atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
4.    Pasal 82 UU Perlindungan Anak :
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”
2.    Program dalam Menangani Kekerasan Seksual pada Anak
Para praktisi hukum maupun pemerintah setiap negara selalu melakukan berbagai usaha untuk menanggulangi kejahatan dalam arti mencegah sebelum terjadi dan menindak pelaku kejahatan yang telah melakukan perbuatan atau pelanggaran atau melawan hukum. Berikut adalah beberapa program pemrintah yang bertujuan untuk menangani kekerasan seksual pada anak :
1.        Meningkatkan kualitas materi pendidikan agama dan budi pekerti di satuan pendidikan, memasukkan ke dalam kurikulum tentang hak dan kewajiban anak, kesehatan reproduksi, dan pemberdayaan anak, melindungi anak di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik dan tenaga kependidikan serta pihak lain dalam lingkungan sekolah.
2.        Melalui dinas kesehatan dilakukan sosialisasi kepada tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan tentang kewajiban untuk memberikan informasi kepada kepolisian dan/atau pemangku kepentingan terkait atas adanya dugaan kejahatan seksual terhadap anak.
3.        Tenaga kesehatan untuk melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi kepada anak, masyarakat dan pemangku kepentingan tentang kesehatan reproduksi, dampak kejahatan seksual terhadap tumbuh kembang anak, pemberdayaan anak, dan melakukan upaya pencegahan.
4.      Melalui kementerian Komunikasi dan Informasi, adanya upaya pencegahan dan penanganan pornografi melalui pemblokiran situs-situs porno dan situs-situs kekerasan terhadap anak dan perempuan, meningkatkan koordinasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), asosiasi media cetak dan media elektronika, serta asosiasi dan penyelenggara jasa internet dalam rangka pencegahan dan pemberantasan kejahatan sesual terhadap anak.
5.        Melalui kementerian  Hukum dan HAM, adanya penyusunan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan anak; melakukan pencegahan dan penangkalan imigrasi terhadap pelaku yang diduga melakukan kejahatan seksual terhadap anak sesuai dengan permintaan Polri dan Jaksa Agung.
Jaksa Agung berwenang mempercepat proses penanganan dan penyelesaian perkara yang berhubungan dengan kejahatan seksual terhadap anak, melakukan tuntutan pidana seberat mungkin terhadap pelaku tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak, dan melakukan pengawasan terhadap putusan pidana bersyarat, pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat terhadap pelaku tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak.
6.        Adanya upaya dari pihak kepolisian RI dalam hal penanganan dan penyelesaian proses penyidikan dan berkas perkara hukum bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, melakukan penegakan hukum yang optimal kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak di tingkat penyidikan, dan meningkatkan kegiatan kepolisian yang bersifat pre-emptif yaitu bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat, khususnya di satuan pendidikan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan keahatan seksual terhadap anak, bekerja sama dengan instansi terkait.
7.        Negara berusaha meningkatkan kapasitas para penegak hukum ini agar lebih terlatih menangani kasus-kasus kekerasan seksual, mereka juga perlu memiliki sensitvitas terhadap korban sehingga lebih sungguh-sungguh bekerja, adanya fasilitas yang handal sehingga dapat dengan mudah mengenali kejahatan ini, disamping penambahan unit cyber crime dibeberapa kota yang dinilai kadar kejahatan seksualnya tinggi.
8.        Menjamin tersedianya pusat-pusat rehabilitasi terhadap korban kekerasan seksual anak di setiap kota di Indonesia yang pengelolaannya dapat dilakukan bersama-sama dengan komponen-komponen terpilih di masyarakat yang memiiki kepeduliaan terhadap pengasuhan, pemulihan masa depan anak. Pusat-pusat rehabilitasi ini harus dikelola secara profesional dengan anggaran yang mencukupi sehingga negara memberikan jaminan pemulihan yang seimbang. Pusat-pusat rehabilitasi ini perlu diintegrasikan dengan peran penyidik dan peran-peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
9.      Sektor swasta merupakan salah satu mitra kunci dalam memerangi kekerasan seksual ini, sehingga negara tidak membiarkan mereka menjadi “penonton” dan “pendengar” terhadap berbagai praktek kekerasan seksual anak. Mereka perlu didorong dalam memberikan tanggapan, meningkatkan kesadaran mereka dalam berpartisipasi mencegah, menanggulangi masalah kekerasan seksual anak.
Ada kode etik atau hukum yang perlu diterapkan kepada mereka agar tidak memfasilitasi terjadinya kekerasan seksual pada anak. Industri telekomunikasi, penyedia layanan internet, industri pariwisata termasuk sektor swasta yang sering bersentuhan dengan praktek-praktek kekerasan seksual pada anak.
Mereka harus memiliki aturan untuk menolak menjadi “tuan rumah” bagi kekerasan seksual (online) pada anak, mereka juga didorong untuk melaporkan kasus-kasus kekerasan seksual pada anak yang mereka ketahui, mereka juga harus memiliki software atau hardware yang dapat mengenali kekerasan seksual online pada anak dan melaporkannya, mereka juga didorong untuk memiliki program corporate social responsibility dalam memulihkan korban di daerah wisata.
10.    Kementrian Komunikasi dan Informasi memiliki peran strategis dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual online. Peran ini sudah mereka lakukan, namun penapisan terhadap konten seksual online ternyata hanya sebatas pada konten-konten yang mereka berhasil  pantau.
Kebijakan menyeluruh dalam melindungi anak-anak dari ancaman kekerasan seksual online belum sepenuhnya berhasil dirumuskan mekskipun kementerian ini faham betul apa yang harus dilakukan. Karena itu, kementerian ini perlu dimotivasi agar sungguh-sungguh menjalankan mandat sebagai institusi negara untuk mencegah kekerasan seksual online pada anak.

3.    Fasilitas dalam Menangani Kekerasan Seksual pada Anak
Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan kekerasan seksual pada anak :
1)   Sarana Penal (hukum pidana)
Penanggulangan secara penal yaitu penanggulangan setelah terjadinya kejahatan atau menjelang terjadinya kejahatan, dengan tujuan agar kejahatan itu tidak terulang kembali. Penanggulangan secara penal dalam suatu kebijakan kriminal merupakan penanggulangan kejahatan dengan memberikan sanksi pidana bagi para pelakunya sehingga menjadi contoh agar orang lain tidak melakukan kejahatan.
Dengan diberikannya sanksi hukum pada pelaku, maka memberikan perlindungan secara tidak langsung kepada korban perkosaan anak di bawah umur ataupun perlindungan terhadap calon korban. Ini berarti memberikan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya atau dengan kata lain para pelaku diminta pertanggungjawabannya.
Penanggulangan kejahatan perkosaan terhadap anak di bawah umur melalui upaya penal dilakukan secara represif. Penanggulangan kejahatan yang bersifat represif, maksudnya adalah upaya penanggulangan kejahatan dengan memberikan tekanan terhadap pelaku kejahatan, dengan tujuan agar kejahatan itu tidak terjadi lagi. Penanggulangan kejahatan yang bersifat represif ditujukan pada pelaku kejahatan tersebut, yang dimulai dengan usaha penangkapan, pengusutan di peradilan, dan penghukuman.
2)        Upaya Non Penal
Penanggulangan secara non penal maksudnya adalah penanggulangan dengan tidak menggunakan sanksi hukum, yang berarti bahwa penanggulangan ini adalah penanggulangan kejahatan yang lebih bersifat preventif.
Usaha-usaha non penal bisa berupa penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama, dan sebagainya, peningkatan usaha dan kesejahteraan anak remaja, kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinyu oleh polisi dan aparat keamanan lainnya dan sebagainya. Usaha-usaha non penal ini dapat meliputi :
a)        Upaya Preventif
Penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur dapat dilakukan dengan cara yang bersifat preventif maksudnya adalah upaya penanggulangan yang lebih dititikberatkan pada pencegahan kejahatan yang bertujuan agar kejahatan itu tidak sampai terjadi. Kejahatan dapat dikurangi dengan melenyapkan faktor-faktor penyebab kejahatan itu sebab bagaimanapun kejahatan tidak akan pernah habis.
Dalam usaha pencegahan kriminalitas, kata pencegahan dapat berarti antara lai mengadakan usaha perubahan yang positif, dalam hal perkosaan khususnya perkosaan terhadap anak dibawah umur, seperti memberikan perlindungan terhadap anak karena anak merupakan orang yang paling mudah dibujuk dan selain itu anak belum dapat memberontak seperti yang dilakukan oleh orang-orang dewasa.
Penanggulangan secara non penal kejahatan perkosaan terhadap anak di bawah umur adalah dengan meningkatkan kesadaran hukum bagi anggota keluarga untuk lebih memahami kepentingan anak di masa depan.
b)        Upaya Reformatif.
Upaya reformatif adalah segala cara pembaharuan atau perbaikan kepada semua orang yang telah melakukan perbuatan jahat yang melanggar undang-undang. Upaya ini bertujuan untuk mengurangi jumlah residivis atau kejahatan ulangan. Upaya ini dapat dilakukan dengan berbagai cara yang kesemuanya adalah menuju kepada kesembuhan, sehingga si pelaku kejahatan dapat menjadi manusia yang baik kembali. Upaya reformatif ini dilakukan setelah adanya upaya-upaya yang lain serta upaya ini bertujuan mengembalikan atau memperbaiki jiwa si penjahat kembali, yang mana untuk kejahatan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur dapat dilakukan dengan metode reformatif dinamik (dalam hal ini metode klasik dan metode moralisasi) serta metode profesional service. Melalui metode reformatif dinamik, metode yang memperlihatkan cara bagaimana mengubah penjahat dari kelakuannya yang tidak baik, terdapat metode klasik dengan jalan memberikan hukuman yang berat.
Ada 3 pokok yang menjadi solusi dalam penanganan kekerasan seksual pada anak :
1.      Pencegahan.
Aktivitas pencegahan ini dapat dilakukan secara bersama dalam bentuk sosialisasi hak-hak anak dan sejumlah peraturan ditengah-tengah kehidupan masyarakat dan keluarga.
2.      Deteksi Dini
Bagi anak-anak yang rentan terhadap terjadinya kekerasan serta dalam lingkungan keluarga dan masyarakat perlu dilakukan langkah cepat (quick response) untuk mengevakuasi sementara anak ke tempat yang aman, serta memberikan peringatan dini kepada lingkungan keluarga yang rentan melakukan kekerasan. Artinnya, bagi anak-anak yang rentan terhadap kekerasan sedini mungkin bisa dihindari.
3.      Intervensi Krisis.
Bagi anak-anak yang telah mengalami kekerasan, langkah yang perlu dilakukan melalui pendekatan Intervensi Krisis. Aktivitas ini dilakukan dengan metoda mendampingi korban dan keluarga korban untuk melakukan upaya hukum, dan melakukan terapi terhadap trauma yang diakibatkan oleh tindak kekerasan.

Peran Bidan dalam Mencegah dan Menangani Kekerasan Seksual pada Anak.
Sebagai tenaga kesehatan, seorang bidan harus mampu menangani jika ditemukannya kasus kekerasan seksual pada anak, melalui langkah-langkah berikut diharapkan agar bidan dapat menjadi tempat utama dalam perlindungan korban kekerasan seksual pada anak, berikut merupakan langkah yang diperlukan bidan :
1.        Melakukan pendekatan
Pendekatan awal untuk mengobati seseorang yang telah menjadi korban pelecehan seksual tergantung pada beberapa faktor penting, yaitu :
a.    Umur pada saat pemberian arahan
b.    Keadaan pada saat pemberian arahan dan saat perawatan
c.    Kondisi tidak wajar
Tujuan pengobatan tidak hanya untuk mengobati masalah – masalah kesehatan mental yang ada pada saat ini, tetapi juga mencegah hal yang sama pada masa yang akan datang
2.        Membantu anak melindungi diri
Menjelaskan pada anak bahwa tidak ada seorangpun yang boleh menyentuh nya dengan tidak wajar. Berikan pemahaman dan ajarkan anak untuk menolak segala perbuatan yang tidak senonoh dengan segera meninggalkan dimana sentuhan tersebut terjadi. Ingatkan anak untuk tidak gampang mempercayai orang asing dan buat anak untuk selalu mencerikan jika terjadi sesuatu dengan diri nya
3.        Melakukan penyuluhan terhadap anak tengtang Pelecehan seksual terhadap anak
4.        Laporkan Pada pihak yang berwajib
Bila terjadi kekerasan fisik, psikis atau pun seksual ada baik nya segera laporkan pada pihak yang berwajib. Hal ini bertujuan agar segera diambil tindakan lebih lanjut terhadap tersangka dan dapat mengurangi kejahatan yang sama terjadi. Sementara untuk korban nya harus segera mendapatkan bantuan ahli medis serta dukungan dari keluarganya.





BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Kekerasan seksual pada anak adalah pemaksaan, ancaman atau keterperdayaan seorang anak dalam aktivitas seksual. Aktivitas seksual tersebut meliputi melihat, meraba, penetrasi (tekanan), pencabulan dan pemerkosaan.
Salah satu praktek kekerasan seksual anak terhadap anak di bawah umur yang dinilai menyimpang adalah bentuk kekerasan seksual. Jelas praktek tersebut bertentangan dengan nilai-nilai agama serta melanggar hukum yang berlaku dan membuat masyarakat termotivasi untuk membasmi praktek seks yang kini telah banyak dilakukan di kota-kota maupun di desa.
Upaya perlindungan anak korban kekerasan seksual mendapat perhatian penguasa, secara lebih komprehensif, sejak ditetapkannya UU Perlindungan Anak, meski perlindungan itu masih memerlukan instrumen hukum lainnya guna mengoperasionalkan perlidungan tersebut.
Sebagai tenaga kesehatan, seorang bidan harus mampu menangani jika ditemukannya kasus kekerasan seksual pada anak, melalui langkah-langkah berikut diharapkan agar bidan dapat menjadi tempat utama dalam perlindungan korban kekerasan seksual pada anak

B.       Saran
Dari berbagai informasi yang telah kita dapatkan bahwa pelecehan seksual sangat berbahaya karena akan menimbulkan efek yang sangat

berbahaya mulai dari beban mental yang diderita oleh korban,penyakit yang akan diderita oleh pelaku dan juga oleh korban dan lain sebagainya. Maka dari itu diharapkan kepada orang tua agar dapat menjaga anak mereka agar terhindar dari kekerasan seksual yang memberikan efek negative yang berkepanjangan bagi masa depan anak.
Pemerintah diharapkan dapat menjalankan kebijakan yang telah dirumuskan baik untuk tindakan pencegahan maupun tindakan perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindakan kekerasan seksual pada anak.














Daftar Pustaka
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2002. Pelecehan Seksual dan  
     Kekerasan Seksual. Jakarta : BKKBN.

Hadisuprapto, Paulus. 2006. Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak. Jakarta : PT.Gramedia Indonesia.

Huraerah, Abu. 2006. Kekerasan Terhadap Anak.  Jakarta : Penerbit Nuansa

Komisi Perlindungan Anak Indonesia. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jakarta : KPAI.  Diakses pada tanggal 18 Oktober 2015, dari http://www.kpai.go.id/hukum/undang-undang-republik-indonesia-nomor-35-tahun-2014-tentang-perubahan-atas-undang-undang-nomor-23-tahun-2002-tentang-perlindungan-anak/


Komnas Perlindungan Anak. 2006. Pemerkosa Pelajar ditangkap: Terapi Psikologis Amat diperlukan, www.kompas.com diakses 18 Oktober 2015.

Kumalasari, Intan dan Iwan Andhyantoro. 2012. Jakarta : Salemba Medika.
Romauli, Suryati. 2009. Kesehatan Reproduksi   untuk Mahasisiwi Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika.

Widyastuti, Yani. 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta : Fitramaya.

2 komentar:

  1. Artikel yang menarik dan berguna.

    Buruan Gabung Sekarang Juga dan Dapatkan Bonus Hingga Jutaan Rupiah disetiap Harinya Hanya di raja poker

    BalasHapus
  2. Bagus makalahnya, ijin share ya

    BalasHapus